Senin, 02 Februari 2015

Serikat Islam



SERIKAT ISLAM
Serikat Islam merupakan organisasi ekonomi yang berdasarkan pada agama Islam dan perekonomian rakyat sebagai dasar penggeraknya.
TUJUAN SERIKAT ISLAM
Adapun Tujuan Serikat Islam(SI) di tinjau dari anggaran dasarnya meliputi:
1. Mengembangkan jiwa dagang
2. Membantu para anggota yang mengalami kesulitan dalam bidang usaha
3. Memajukan pengajaran dan semua usaha yang menaikkan derajat rakyat bumiputera
4. Menentang pendapat-pendapat yang keliru mengenai agama Islam
5. Hidup menurut perintah agama

 VISI DAN MISI SERIKAT ISLAM
Memajukan semangat dagang bangsa, memajukan kecerdasan rakyat dan hidup menurut perintah agama dan menghilangkan faham-faham keliru mengenai agama Islam.
Tujuan utama SI pada awal berdirinya adalah menghidupkan kegiatan ekonomi pedagang Islam Jawa. Keadaan hubungan yang tidak harmonis antara Jawa dan Cina mendorong pedagang-pedagang Jawa untuk bersatu menghadapi pedagang-pedagang Cina. Di samping itu agama Islam merupakan faktor pengikat dan penyatu kekuatan pedagang-pedagang Islam.

 TOKOH YANG TERLIBAT
1. Kiai Haji Samanhudi
           
Dalam dunia perdagangan, Samanhudi merasakan perbedaan perlakuan oleh penguasa penjajahan Belanda antara pedagang pribumi yang mayoritas beragama Islam dengan pedagang Cina pada tahun 1911. Oleh sebab itu Samanhudi merasa pedagang pribumi harus mempunyai organisasi sendiri untuk membela kepentingan mereka. Pada tahun 1911, ia mendirikan Sarekat Dagang Islam untuk mewujudkan cita-citanya.Ia dimakamkan di Banaran, Grogol, Sukoharjo.Sesudah itu,Serikat Islam dipimpin oleh Haji Oemar Said Cokroaminito.


2. H.O.S. Cokroaminoto

Cokroamonoto bergabung dengan sarekat islam di Surabaya atas ajakan dari pendiri sarekat islam sendiri yakni haji haji samanhoeddhi yang memang mencari orang-orang yang telah pernah mendapat pendidikan yang lebih baik dan lebih berpengalaman untuk memperkuat organisasinya. Selanjutnya Tjokroaminoto langsung menyusun sebuah anggaran dasar baru bagi organisasi itu bagi seluruh Indonesia dan meminta pengakuan dari pemerintah untuk menghindarkan diri dari apa yang disebutkan "pengawasan preventif dan represif secara administrative".
Dengan berbagai alasan pemerintah belanda menolak untuk memenuhi permintaan tadi, tetapi organisasi setempat yang memiliki sifat yang sama dipertimbangkan oleh belanda, sehingga cabang-cabang sarekat islam dikisaran jawa yang memenuhi kriteria menurut sistem belanda kemudian mengajukan permintaan untuk pengakuan akhirnya diberikan.

Sebagai pimpinan Sarikat Islam, HOS dikenal dengan kebijakan-kebijakannya yang tegas namun bersahaja. Kemampuannya berdagang menjadikannya seorang guru yang disegani karena mengetahui tatakrama dengan budaya yang beragam. Pergerakan SI yang pada awalnya sebagai bentuk protes atas para pedagang asing yang tergabung sebagai Sarekat Dagang Islam yang oleh HOS dianggap sebagai organisasi yang terlalu mementingkan perdagangan tanpa mengambil daya tawar pada bidang politik.
Salah satu kata mutiara darinya yang masyhur adalah Setinggi-tinggi ilmu, semurni-murni tauhid, sepintar-pintar siasat. Ini menggambarkan suasana perjuangan Indonesia pada masanya yang memerlukan tiga kemampuan pada seorang pejuang kemerdekaan.
3. Semaun

Bersama-sama dengan Alimin dan Darsono, Semaun mewujudkan cita-cita Sneevliet untuk memperbesar dan memperkuat gerakan komunis di Hindia Belanda. Sikap dan prinsip komunisme yang dianut Semaoen membuat renggang hubungannya dengan anggota SI lainnya. Pada 23 Mei 1920, Semaun mengganti ISDV menjadi Partai Komunis Hindia. Tujuh bulan kemudian, namanya diubah menjadi Partai Komunis Indonesia dan Semaoen sebagai ketuanya. PKI pada awalnya adalah bagian dari Sarekat Islam, tapi akibat perbedaan paham akhirnya membuat kedua kekuatan besar di SI ini berpisah pada bulan Oktober 1921. Pada akhir tahun itu juga dia meninggalkan Indonesia untuk pergi ke Moskow, dan Tan Malaka menggantikannya sebagai Ketua Umum. Setelah kembali ke Indonesia pada bulan Mei 1922, dia mendapatkan kembali posisi Ketua Umum dan mencoba untuk meraih pengaruhnya kembali di SI tetapi kurang berhasil.

Semaun membangun partainya dengan berpijak pada kenyataan yang hidup di sekitarnya. Dengan begitu, Ia membangun propagandanya berdasarkan kenyataan-kenyataan sosial yang terhampar di depannya, seperti persoalan agraria, wabah pes, Indie Weebaar. Di tangannya, marxisme diterjemahkan dalam keadaan-keadaan khusus di sekitarnya.


4. Abdul Muis

Abdul muis bergabung dengan central sarekat islam atas permintaan cokroaminoto yang melihat dia sebagai seorang Indonesia yan erpendidikan dan pengalaman yang dapat diharapkan dengan sikap radikal pula terhadap ketidak adilan dn segala macam penderitaan orang-orang Indonesia, sifat-sifat yang sangat diperlukan pada masa itu untuk mebina gerakan tersebut

Pada Kongres Sarekat Islam Ketujuh tahun 1923 di Madiun diputuskan bahwa Central Sarekat Islam digantikan menjadi Partai Sarekat Islam (PSI). dan cabang Sarekat Islam yang mendapat pengaruh komunis menyatakan diri bernaung dalam Sarekat Rakyat yang merupakan organisasi di bawah naungan Partai Komunis Indonesia (PKI).

5. Agus Salim

Perkenalan ia dalam sarekat islam amatlah ganjil, dia mendapat kabar dari seorang polisi belanda yang menyatakan bahwa cokroaminoto telah menjual sarekat islam kepada jerman dengan harga 150.000 poundsterling, dengan menggunakan uang itu I akan membangunkan pemberontakan besar di jawa, dan akan mendapat antuan persenjataan dari jerman.

Dari kabar tersebut dia menyimpulkan dua hal, yang pertama kabar itu hanya bohong belaka. Yang kedua jika kabar itu benar maka akan menjadi yang besar bagi negeri dan rakyat. Lalu dia melakukan penyelidikan dan berkenalan dengan pemimpinnya yakni cokroaminoto, hiingga ia mengetahui tujuan mulia dari sarekat islam ang menyebabkan salim menjadi seorang anggota sarekat islam

 TERMASUK KOOPERATIF ATAU NONKOOPERATIF
            Pada periode antara tahun 1911-1923 Sarekat Islam menempuh garis perjuangan parlementer dan evolusioner. Artinya, Sarekat Islam mengadakan politik kerja sama dengan pemerintah kolonial. Namun setelah tahun 1923, Sarekat Islam menempuh garis perjuangan nonkooperatif. Artinya, organisasi tidak mau bekerja sama dengan pemerintah kolonial, atas nama dirinya sendiri.

 STRATEGI PERGERAKAN
1.Berkembang Dan Meluas
SI juga mulai menggerakkan massa melalui rapat akbar (vergadering). Vergadering pertama SI di Surabaya, tahun 1913, dihadiri oleh puluhan ribu orang. Alhasil, dalam kongres I SI di Surakarta, tahun 1913, jumlah cabang (Afdeling) SI meningkat pesat menjadi 48 dan keanggotaan membengkak menjadi 200.000 orang.
Namun, upaya SI mendapat pengakuan penguasa Belanda mendapat rintangan. Penguasa Belanda menolak permintaan SI atas pengakuan status hukum sebagai perkumpulan. Sebaliknya, penguasa hanya mau mengakui SI tingkat lokal. Akhirnya, melalui Dr Rinkes, seorang penasehat Gubernur Jenderal untuk urusan bumiputra, penguasa kolonial membujuk Tjokro mengubah Afdeling SI menjadi SI lokal.


2.Menggoda Kaum Kiri
Namun, pertumbuhan SI justru menggoda bagi kalangan marxis—saat itu tergabung dalam  Indische Sociaal-Democratische Vereniging (ISDV), yang sedang membutuhkan lahan subur untuk menebar benih-benih marxisme dan sosialisme. Saking tertariknya dengan SI, yang notabene berkarakter islamisme, orang-orang ISDV menganggap SI sebagai versi Indonesia dari gerakan Chartist—gerakan buruh moderat di Inggris.
Tidak hanya komunis di Hindia Belanda yang tertarik pada perkembangan SI, tetapi juga Lenin, pemimpin Revolusi Rusia, menganggap SI sebagai gerakan demokratik di bawah panji islam. “Perserikatan Nasional dari penduduk asli telah dibentuk di Jawa. Ia telah memiliki keanggotaan sebesar 80.000 orang dan menggelar rapat-rapat akbar. Tidak ada yang bisa menghentikan pertumbuhan gerakan demokratik,” ujar Lenin dalam tulisannya.
3.Pergeseran Ke Kiri
Radikalisasi SI Semarang membuat posisi Tjokro terusik. Radikalisasi SI di bawah kaum kiri terus memanen dukungan. Tjokro pun berhadapan dengan pilihan: tetap moderat/koperatif dengan Belanda atau mengikuti radikalisme yang disodorkan kaum kiri. Kalau memilih yang pertama, Tjokro akan ditinggalkan oleh massa. Sementara jika memilih yang kedua, Tjokro akan dimusuhi oleh Belanda.
Tjokro memilih yang kedua. Ia pun mengubah nada bicaranya menjadi radikal dan militan. Jika di Kongres SI di Bandung, 1916, Tjokro masih menyatakan “SI bekerja demi kemajuan rakyat Hindia di bawah dan bersama pemerintah Hindia Belanda”, maka dalam kongres SI di Batavia, tahun 1917, Tjokro telah berbicara tentang masyarakat “sama rasa” menuju pemerintahan sendiri dan anti-kapitalisme.
Tjokro tak hanya bermain ucapan, tapi mempraktekkanya. Pertama, ia melancarkan gerakan Djawa Dipa, yang bertujuan menghapus bahasa Jawa tinggi (kromo) dan menjadikan bahasa Jawa rendah (ngoko) sebagai bahasa standar. Gerakan ini juga mengganti gelar priayi dengan gelar Djawa Dipa—sebutan “Wiro” untuk laki-laki dan “Woro” untuk perempuan yang sudah menikah. Sedangkan yang belum menikah dipanggil “Roro”.
Kedua, memassifkan perjuangan ekonomi melalui pembangunan gerakan buruh. Ini dilakukan melalui Soerjopranoto dengan PFB (Personeel Fabriek Bond—Ikatan Buruh Pabrik), yang menghimpun banyak serikat buruh. FPB rajin menggelar pemogokan, sehingga Soerjopranoto digelari ‘Si Raja Mogok”.
Ketiga, Tjokro mulai menyerap ajaran sosialisme dan memadukannya dengan ajaran Islam. Ia menulis buku berjudul “Islam dan Sosialisme”, yang berusaha mengelaborasi adanya kesamaan antara nilai-nilai islam dan sosialisme. “Bagi kita, tak ada sosialisme atau rupa-rupa isme lainnya yang lebih baik, lebih elok dan lebih mulia, melainkan sosialisme yang berdasar Islam itu saja,” katanya.
4.Datangnya Masa Surut
Memasuki tahun 1919, pamor SI mulai menurun. Kasus Afdeling B, yaitu pemberontakan rakyat Garut, Jawa Barat, yang dipimpin oleh SI, membuat penguasa kolonial bersikap keras terhadap SI. Gara-gara kejadian itu, Tjokro ditangkap.
Tak hanya itu, perjuangan ekonomi juga mengalami titik balik pada tahun 1920. Saat itu, PFB menyerukan pemogokan umum. Namun, sebelum pemogokan meletus, sindikat gula dan pemerintah kolonial mengambil langkah antisipasi: ancaman PHK dan represi. kegagalan pemogokan membawa malapetaka: banyak cabang PFB yang mundur.
Selain itu, peruncingan dengan kaum kiri juga menguat. Isu disiplin partai pun mengemuka. Kelompok konservatif di tubuh SI menguat, terutama Agus Salim dan Soerjopranoto, yang berkeinginan menendang keluar kaum kiri dari SI.
Akhirnya, pada kongres SI di Surabaya, tahun 1921, sayap kanan dan kiri dalam SI resmi berpisah. SI putih kemudian bertransformasi menjadi Partai Sarekat Indonesia (PSI), sedangkan SI merah menjadi “Sarekat Rakyat” dan terafilisasi dengan PKI.
5.Pelajaran Dari Masa Lalu
Pertama, SI dibangun dibangun di atas basis ideologi yang kuat, yakni islam, tetapi tidak kaku dan menolak pemikiran dari luar.
Kedua, SI berkembang karena berhasilkan menyelaraskan programnya dengan persoalan-persoalan rakyat. SI terlibat mengadvokasi petani, memimpin perjuangan ekonomi kaum buruh, melindungi kepentingan pedagang kecil, dan membuka lembaga pendidikan gratis.
Ketiga, pertumbuhan gerakan SI berjalan simultan dengan lahirnya intelektual-intelektual islam yang hebat di jamannya, seperti HOS Tjokroaminoto, Haji Misbach, Haji Agus Salim, dan lain-lain.
Keempat, keruntuhan gerakan politik islam, termasuk gerakan politik lain, terjadi ketika pemimpinnya tak tahan dengan godaan uang atau bergaya-hidup melebihi anggotanya. Skandal korupsi di tubuh pimpinan SI jaman itu, apalagi melihatkan Tjokro, benar-benar memerosotkan kiprah politik SI di kalangan rakyat.

1 komentar:

  1. Jadi apakah Tjokroaminoto yang menjadi penyebab bahasa jawa krama jarang digunakan?
    karena dalam artikel ini terdapat penggalan cerita
    "dalam kongres SI di Batavia, tahun 1917, Tjokro telah berbicara tentang masyarakat “sama rasa” menuju pemerintahan sendiri dan anti-kapitalisme.
    Tjokro tak hanya bermain ucapan, tapi mempraktekkanya. Pertama, ia melancarkan gerakan Djawa Dipa, yang bertujuan menghapus bahasa Jawa tinggi (kromo) dan menjadikan bahasa Jawa rendah (ngoko) sebagai bahasa standar."

    BalasHapus